Haul Masyayikh Annuqayah oleh IAA Pragaan (Dok.KIM-KMAP) |
KIMKARYAMAKMUR.COM, Pakamban Laok – Dalam Haul Masyayikh PP. Annuqayah Guluk-Guluk oleh Ikatan Alumni Annuqayah (IAA) Cabang Pragaan pada hari Ahad (29/08/2021), Prof. Dr. KH. Abdul A’la Basyir, M.Ag. meminta alumni Annuqayah meneladani jejak juang KH. Moh. Syarqawi pendiri Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep.
Beliau bercerita bahwa KH. Syarqawi lahir di abad ke-19 di Kota Qudus. Kota Qudus saat itu menjadi pusat perdagangan yang sangat maju. Namun demikian, K. Syarqawi justru meninggalkan seluruh kemajuan itu pindah ke sebuah desa bernama Prenduan. Selang beberapa waktu hijrah lagi dan menetap di Guluk-Guluk mendirikan Pesantren yang kita kenal kemudian dengan nama Annuqayah. Di Annuqayah beliau tinggal di tempat yang kurang layak, di kandang kuda.
“Itu beliau lakukan dalam rangka membuka pendidikan dengan pola pesantren”, tuturnya.
Pesantren, menurut beliau, bukan lembaga sekolahan. Pesantren hadir mencetak akhlaq santri dengan tazkiyah, ta’lim dan tarbiyah.
Beliau melanjutkan ceritanya, K. Syarqawi bertemu dengan K Gema Prenduan yang berpesan kalau nanti K. Gemma meninggal, meminta agar istrinya mau dikawin oleh K. Syarqawi. Dengan penuh ta’dzim K. Syarqawi menerima permintaan itu untuk melangsungkan perjuangan membangun peradaban pesantren di pedalaman. Ketundukan inilah yang harus diteladani dari sosok K. Syarqawi.
K. Syarqawi berguru kepada sejumlah guru termasuk ke ulama yang alim K. Nawawi Al-Bantani. Dari gurunya yang berfaham Aswaja itulah sesungguhnya sudah dapat diterka warna dan bentuk Pesantren Annuqayah yang didirikannya kelak. Pesantren yang warnanya sama dengan Pesantren Tebuireng, Tambak Beras, pesantren Langitan, Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo dalam memahamkan warna ajaran Islam bagi para santrinya. Karena akar keilmuan yang sama.
Pada kesempatan itu pula, beliau juga menyoroti anggapan sebagian orang yang memahami pesantren sama dengan asrama. Katanya, Pesantren bukan asrama. Ketika santri disyaratkan mematuhi protokol kesehatan di era pandemi, ada saja wali santri yang masih belum memahami tradisi dan gaya pesantren Annuqayah yang patuh pada negara demi keselamatan jiwa santri.
“Mohon maaf, saya memakai masker bukan karena takut mati, tapi karena menjaga marwah NU dimana saya menjadi pengurusnya”, tuturnya menggugah kesadaran alumni.
Pondok Pesantren Tambak Beras memvaksin santrinya bahkan tanpa izin orang tua, karena wali santri memahami betul anaknya dimasukkan pesantren, bukan hanya disekolahkan. Begitu santri dimondokkan sudah dipasrahkan pada kiyainya.
Saat musim penyakit Cacar dulu, katanya, saya juga divaksin Cacar karena patuh otoritas negara. Hasilnya apa, sekarang penyakit Cacar sudah tidak ada lagi di Indonesia sebab vaksin sudah diberikan pada orang-orang tua kita dahulu. Begitupun juga dengan vaksin pada virus Corona ini nantinya.
Pesantren, kata beliau berbeda dengan lembaga akademik. Pesantren sebagai lembaga pendidikan benar-benar berusaha mendidik anak, mencerdaskan hati bukan hanya mencerdaskan otak.
Cerita beliau, KH. Ahmad Basyir Abdullah Sajjad mendirikan pondok salaf karena melihat akhlaq santri yang dirasakan mulai berbeda, dimana kearifan lokal mulai terkuras.
“Kita sebagai santrinya K. Syarqawi harus pandai bahasa madura yang baik guna menjaga kearifan lokal”, tambahnya.
Belakangan, bahkan ada yang menolak disebut santri, lebih bangga disebut mahasiswa, merasa bangga dengan status keilmuan akademik dari pada menjadi seorang santri.
“Karena ilmunya barokah, KH. Ahmad Basyir mondok hanya tiga tahun, tapi keilmuan beliau luar biasa tak bisa dibandingkan dengan saya yang seorang Profesor Doktor”, tuturnya membandingkan pangkat kesantrian ayahandanya dengan gelar akademik yang disandang dirinya.
“Ada santri kalau sudah ke kota menyebut status guru dan kiyainya berubah, ikut-ikutan menyebut gelar akademiknya pak Profesor,” sindirnya.
K. Syarqawi mengajarkan kepada kita keihlasan dan kesederhanaan, mau tinggal di kandang kuda, meninggalkan peradaban Qudus yang maju.
“Anda putra akademis dan putra ideologis K. Syarqawi, lebih berkesempatan untuk hidup lebih sabar, ikhlas, sederhana, dan bangga menjadi santrinya K Syarqawi dengan meneladani kesederhanaannya”, tuturnya lagi.
Hal itu dilakukan K Syarqawi karena terinspirasi dengan perjalanan hijrah baginda Nabi Muhammad SAW. Nabi menolak tawaran rumah tempat tinggal yang bagus-bagus, tapi memilih tinggal ditempat dimana kendaraan nabi berhenti. Nabi mau hijrah padahal nabi bisa saja melawan kafir quraisy, nabi bisa menang karena dibantu Tuhan. Tapi nabi tidak melakukan itu, sampai datang kemenangan besar di Fathu Makkah penuh damai tanpa kekerasan.
Terakhir, beliau katakan, mengaku santri Annuqayah, lucu kalau mengokok teman lain yang patuh prokes pakai masker, menjadi lelucon, padahal itu yang benar. Lucu kalau hari gini masih percaya hoax yang tersebar. Menjadi santri Annuqayah patuh prokes, patuh negara. (Zbr/Hb).