Oleh : Zubairi El-Karim*)
KH. Ahmad Bahauddin Nur Salim yang biasa dikenal Gus Baha’ adalah ulama NU asal rembang. Seorang ahli tafsir dan fiqih, serta hafidzul Quran, murid kesayangan ulama besar KH. Maimon Zubair.
Beliau santri pondok tradisional ala Nahdliyyin yang sangat populer Al.Anwar Sarang Jawa Tengah, fatwanya yang sejuk selalu diburu netizen. Isi ceramahnya dalam menggigit, detail menghiasi laman Youtube. Ditangan beliau nama santri nusantara yang dulu tenggelam sekarang berkibar dengan kedalaman kitab kuning dalam kajian ilmiah populer.
Salah satu ceramahnya yang menarik, saat beliau membahas Dakwah Islam Simpatik. Bahwa tugas ulama itu mendakwahi bukan menghakimi terlebih berkaitan dengan keyakinan. Karena keyakinan wilayahnya tuhan, manusia tidak boleh merampas wilayah tuhan.
Beliau menyontohkan satu kalimat yang amat mendasar dalam kehidupan manusia yang menjadi dinding pemisah Kafir dan Muslim yaitu lafadz “Lailahaillallah“. Ulama bersepakat bahwa orang yang kafir 70 tahun menjadi muslim diampuni dosa-dosanya gara gara melafadzkan Lailahaillallah.
Hal ini didasarkan ayat Al-Qur’an Surat al-Anfal ayat 38 “Qul lilladzina kafaruu in yantahu yughfar lahum ma qad salaf,” yang artinya : “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu, jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu”.
Sementara tidak bisa dinalar dewasa ini ada kelompok tertentu yang mengafirkan muslim lainnya dengan kalimat yang sama ‘Lailahaillah‘. Kalimat untuk penghilang kekafiran justru digunakan mengafirkan saudara muslim lainnya.
Gus Baha’ mengingatkan bahwa mengaji itu harus tahqiq (detail) agar bisa menangkap secara utuh pesan agama, tidak mudah mengkafirkan orang lain yang sudah masuk Islam.
Dalam beragama kita tidak diperbolehkan mudah menghakimi orang dalam hal hidayah dan aqidahnya. Khalid Bin Walid sang panglima pasukan Kafir Quraisy yang gagah perkasa melawan Islam pada Perang Uhud justru berbalik masuk Islam, padahal orang tuanya Walid Bin Mughirah sangat keras memusuhi nabi. Begitu pula Wahsyi bin Harb al-Habsyi, seorang pemuda Etiopia ahli tombak pembunuh paman nabi Hamzah bin Abdul Muthalib sebab Hamzah membunuh pamannya Thu’aimah bin Adi, akhirnya masuk Islam dan menjadi ahli sorga. Juga Abu Sufyan, seorang pemimpin besar Suku Quraisy yang sangat terkenal memusuhi rosulillah saat perang Badar dan Khandaq, justru masuk Islam dan bahkan menjadi mertua Rosulillah SAW.
Hidayah datang sebagai monopoli Allah, tak dapat diduga dan diterka, bisa datang kapan saja dan kepada siapa saja. Sehingga pada wilayah ini banyak ulama seolah tidak tegas menghakimi seseorang, karena ulama faham betul bahwa pemilik utama hidayah itu adalah Allah SWT.
Gus Baha’ menceritakan bahwa gurunya KH. Maimon Zubair sering berkata bahwa Politik Dakwah Simpatik yang seakan tidak jelas itu adalah bagian dari kejelasan itu sendiri. Tugas kita hanya menyampaikan, membimbing, mengawal umat agar jangan putus asa untuk mendapatkan hidayah. Bisa saja yang saat ini kafir suatu saat nanti justru menjadi muslim sejati, yang asalnya fasik berganti shalih, begitupun sebaliknya.
Habib Umar Bin Hafidz ulama tersohor dari Yaman dalam kitab _’Taujihun Nabi limardhati rabbi’,_ mengatakan, bagaimana mungkin dapat dibayangkan musuh yang membuat nabi wajahnya terluka dan gigi serinya tanggal bisa diampuni dan masuk Islam, tapi Allah justru berkehendak lain, Allah mengampuni dan menyiksa siapapun yang dikehendakinya. Allah turunkan ayat “Laisa laka alaihi amrun au yatuba alaihim au yuaddibahum.” atau ayat lain yang isinya sama “Fayaghfiru liman yasya’u wayuaddzibu man yasya’u“, bahwa penyiksaan dan pengampunan itu sepenuhnya hak prerogatif Allah SWT.
Di ayat Al Baqarah ayat 272 Allah juga mempertegas kedudukan hidayah “Laika alaika hudahum walakinnallaha yahdi man yasya’u“_artinya : Bukanlah kewajibanmu (Muhammad) menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki”.
Kita tak ada yang tahu, orang yang saat ini kafir lalu masuk Islam dan Islamnya lebih serius dari muslim biasa, bisa jadi yang nantinya menolong kita di akhirat nanti. Kita bisa lihat keislaman Sayyidina Umar Ibnu al-Khattab yang kedudukan Islamnya sangat tinggi mampu mengalahkan sahabat lain yang lebih dahulu masuk Islam namun Islamnya terlihat biasa-biasa saja.
Di zaman jahiliyah yang amat keras, dimana rosul sering dibully sedangkan sahabat lain kurang bergigi melindungi rosulillah, maka kehadiran Umar sang petarung di pasar Ukazh adalah anugerah. Nabi berdoa Allahumma aizzal Islam biumar. Umar masuk Islam, dan sehari saja Islamnya umar bisa mengalahkan separuh muslim yang lain, karena kualitas muslim itu ukurannya sesuai tantangan.
Dunia ini serba kemungkinan. Saat nabi berdakwah di Thaif dengan berbagai aksi penolakan dan kekerasan pada rosulillah, nabi justru menolak tawaran Malaikat Jibril dan malaikat penjaga gunung untuk menghancurkan musuh dengan cara kekerasan, karena nabi tak putus asa, ingin kelak dari tulang sulbi mereka lahir anak-anak mereka yang mengucapkan Lailahaillallah.
Dakwah simpatik yang dilakukan rosul itu akhirnya membuahkan hasil, dari si Abu lahab dan isterinya yang kafir Arwa Binti Harb lahir seorang muslim yang taat bernama Durrah Binti Abi Lahan. Dari Abu Jahal (Amr Bin Hisyam) lahir seorang pemuda Quraisy yang gagah berani bernama Ikrimah pembela Islam, dimana saat beliau sudah masuk Islam setiap sen hartanya digunakan untuk menebus dosa-dosa masa lalunya. Dari Walid Bin Mughirah lahir Khalid Bin Walid seorang pemimpin perang yang hebat dijuluki Syaifullah Al Maslul (pedang Allah yang terhunus).
Hidup berubah tanpa ada yang tahu, di sekitar kitapun banyak sekali kita jumpai seorang anak keluarga miskin malah kaya, jadi pembesar. Anak petani kecil menjadi penghafal al-Quran, anak kafir malah masuk Islam dengan mudahnya. Kita juga tahu Tsa’labah Ibn Hathib al-Anshari, yang diberi gelar Hamamatul Masjid (sang merpatinya masjid) tapi justru gagal istiqamah dan berubah diakhir hidupnya.
Kita benar-benar bodoh memahami hidayah Tuhan. Sehingga jangan mudah memberikan label kafir, musyriq kepada orang lain. Memang nampak seolah tak tegas, tapi tidak tegas itu bagian dari ketegasan ilmiah, karena hanya Allah pengendali hidayah. Ketegasan kita wilayahnya dalam kebenaran bukan dalam upaya mengawal kebenaran.
Kita juga jangan terlalu bernafsu menjaga Islam sampai mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan. Yang menjaga Islam itu Allah SWT, bukan ormas atau kelompok aliran tertentu.
Kepemimpinan umat Islam juga ditangan Allah SWT. Islam sepeninggal rosulillah dijaga Allah dengan cara Allah, Islam dijaga Khulafaur rasyidin, dijaga bani Umayyah, bani Abbasiyah, bani Ustmaniyah, dan terus berkembang ke sejumlah negara dengan berbagai dinamikanya. Tak perlu dikhawatirkan terlalu berlebihan. Di Indonesia, Islam ditinggal Wali Songo, dilanjutkan oleh ulama nusantara tetap berjalan kuat sampai sekarang dengan seabrek dinamikanya.
Islam di negara adi daya Uni Suviet begitu dihawatirkan, ternyata meski
Uni suviet itu runtuh tahun 1991, pecah berkeping- keping menjadi 15 menjadi negara persemakmuran, dari pecahannya justru muncul mutiara dari enam negara bagian yang mayoritas penduduknya beragama Islam, termasuk Chechnya. Di Chechya negara bagian Uni Suviet gairah budaya keislaman bergemuruh seperti pelaksanaan maulid dan lain lain.
Dalam berdakwah Islam simpatik, kita harus diimbangi keluasan ilmu agar tak mudah mengafirkan. Agama ini diurus oleh Allah. Setiap generasi datang dengan caranya sendiri dalam menguatkan Islam. Ulama terdahulu pasti lebih alim ketimbang ulama sekarang, tapi ulama terdahulu tidak pernah risau meninggalkan agamanya kepada generasi berikutnya karena yakin Allah akan menjaga agamanya.
Ingat sejarah, saat Abrahah penguasa Yaman hendak menyerang Ka’bah dengan ribuan pasukan gajah, semua aset Quraisy ditahan, termasuk milik Sayyid Abdul Muthallib kakek nabi sang pemimpin Makkah. Abdul Muthallib mempersilahkan Abrahah menghancurkan Ka’bah asal 200 unta dan aset yang disita dikembalikan. Abrahah kaget, karena Abdul Mughallib sang pemimpin seperti tidak risau dengan kehancuran Ka’bah agamanya, malah yang dirisaukan hartanya. Abdul Muthallib.menjawab, Ka’bah itu ada yang punya, dan pemiliknya Allah akan melindunginya. Tapi unta itu milik saya, kembalikan.
Abdul Muthallib lalu menyeru umatnya, Wahai kaumku, ayo kita naik ke gunung kita lihat apa yang akan dilakukan Tuhan kita dalam menyelamatkan Ka’bah ini. Dan benar saja, Allah menjaga Ka’bah dengan pasukan burung Ababil yang melempari pasukan dengan batu-batu panas.
Gus Baha’ mengingatkan, kalau kita ingin husnul khatimah, maka tak ada ruang memvonis keyakinan orang lain. Kita hanya berkhidmah untuk umat berharap umat terus bergerak ke arah yang lebih baik. Ketika Kafir menjadi Harbi seperti saat menghadapi sekutu dulu maka kita perangi, tapi saat non muslim berwajah dzimmi, muahad, nusta’man maka kita memilih hidup rukun berdamai bersamanya, seperti berdamainya rosulillah dengan Zuhail Bin Amr saat shulhul hudaibiyyah. Peristiwa perjanjian Khudaibiyyah menghasilkan hukum bahwa bergaul dengan Kuffar boleh demi kelangsungan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kalau kita punya konsep dalam dakwah simpatik maka kita harus siap ditentang, karena tak ada model dakwah yang tidak melahirkan pertentangan dari reaksi publik. Jika saat ini kita mengawal Islam moderat/simpatik bukanlah difahami bahwa kita tidak tegas, sebab potensi sosial bisa berubah. Makanya dalam ayat-ayat sosial Allah memakai kalimat ‘Asa (bisa jadi), seperti ayat “Asa an takrohu syai’an wahuwa khairun lakum, wa’asa an tuhibbu syai’an wahuwa syarrun lakum” bisa jadi yang dikira baik ternyata jelek, atau yang dikira jelek malah baik untuk kita. Karena itu jangan mudah menghakimi, berdakwalah secara simpatik.
*) Penulis adalah pengurus NU Sumenep, Dosen Stidar, Pegiat KIM dan Pegawai Kantor Kecamatan Pragaan.