Oleh : Zubairi El-Karim *)
Sejak masuknya aliran politik keagamaan impor terutama di era digital ini maka gesekan sosial makin terdengar hingar bingar membuat penebalan politik identitas semakin banal bercampur kehendak-kehendak politik.
Benturan wacana dari aneka peristiwa terus diproduksi pihak berkepentingan dan disuguhkan ke ruang publik nyata, dimana Islam misalnya dibenturkan dengan negara, dengan budaya, dengan tradisi lokal bahkan dihadapkan dengan kebijakan negara.
Anehnya semua benturan itu terlihat biasa sebab dibungkus baju bernama agama. Sehingga tak heran emosi warga kerapkali meledak ke ubun-ubun hingga turun ke jalan. Apapun peristiwa dan wacananya jika agama dibawa-bawa, maka darah mendidih, emosi memuncak makin tak terkendali, donasi tak lagi dipedulikan, kekerasan tak lagi dihiraukan, bahkan nyawapun dikorbankan yang penting agama terselamatkan.
Tradisi sedekah bumi, petik laut yang dulu berjalan aman sekarang mulai disoal, apalagi bila kaum minoritas mau mendirikan rumah ibadah akan banjir pertentangan. Dulu penyampaian aspirasi demo jalanan bergerak dari kampus dan rumah pergerakan, sekarang dari masjid, waktunya hari Jumat lagi, dengan jumlah ribuan atau jutaan orang. Misinya membela agama, menghukum penista agama, menolak pemimpin minoritas karena alasan beda agama meskipun prestasinya bagus tak terbantahkan.
Tak hanya itu, tuduhan kriminalisasi ulama pada pelanggar hukum, aksi sweeping atribut natal dan warung maksiat, kritik tajam pada Banser Ansor penjaga gereja di hari natal, dan berbagai provokasi media beraroma kebohongan (yang seolah dipoles kebenaran) adalah ekses nyata dari cara pandang berlebihan memahami agama. Bahkan isu pandemi sekalipun, dimana semestinya kita menyujudkan empati pada ribuan korban yang meninggal, malah sibuk memperdebatkan kebijakan negara dan teori konspirasi politik global.
Selebihnya adalah tindakan radikalisme yang berujung terorisme dan penolakan negara demokrasi adalah wujud nyata gambaran sikap-sikap ekstremisme di tengah kehidupan kita. Ditengah sentimen SARA yang makin menguat itulah maka memahami sikap moderasi beragama menjadi penting dan menemukan urgensinya.
Moderasi agama dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) punya makna pengurangan kekerasan, dan penghindaran keekstreman.
Moderasi beragama bukanlah ideologi tapi cara pandang memahami tafsir ajaran agama agar selalu berada di titik tengah. Yang dimoderasi gaya pandangnya bukan agamanya.
Kenapa? Karena tak ada persoalan yang lepas dari perhatian agama, semua diatur dalam al-quran dan hadis sebagai sumber otoritatif utama, meskipun aturannya berupa prinsip-prinsip dasar. Saat agama bertemu dinamika realitas budaya di bumi maka diperlukan tafsir. Nah, tafsir inilah yang mengharuskan sikap moderasi agar jatuhnya tidak ekstrem. Ekstrem adalah tindakan berlebihan sebagai hasil dari pemahaman yang tidak moderat.
Moderasi beragama bukan hanya mnyangkut masalah lokal, tapi dunia global sekalipun memerlukan pandangan moderasi untuk membantu menciptakan peradaban internasional dan perdamaian dunia. Sebab sikap ekstrem, dunia saat ini terutama negara timur tengah yang dilanda Proxy War mengalami kegoncangan, pecah belah dan pertumpahan darah tak kunjung usai.
Dalam pertemuaan dua tokoh besar dunia Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar pada tahun 2019, keduanya membawa pesan utama yang sangat penting berkaitan ekstremisme, bahwa musuh bersama kita saat ini adalah ekstremisme akut, hasrat saling memusnahkan, perang, intoleransi, serta rasa saling benci antara sesama.
Bukankah agama sudah sempurna? Mengapa masih butuh moderasi? Benar, agama sempurna sebagai konsep dasar dan nilai-nilai, tapi bergeraknya dinamika budaya seiring zaman, keterbatasan literasi manusia, minimnya kemampuan memahami pesan penting yang dibawa agama dalam pergaulan kebangsaan menjadikan tafsir pada agama menjadi berbeda beda. Agamanya satu, tafsirnya jadi bermacam-macam. Disinilah pandangan moderasi agama diperlukan diantara pilihan yang beragam.
Bagi yang mendewakan pemikiran tekstualis ia hanya akan bertumpu pada teks saja, mengabaikan konteks sehingga melahirkan sikap radikal, konservatif atau bahkan ultra konservatif. Potongan ayat dan hadis secara teks dalam situasi perang akan dibawa ke ranah negeri yang damai, kacau.
Pihak lain yang merasa nasionalis terlalu memuja pemikiran kontekstual, semua dipecahkan dengan nalar rasional sampai pandangannya keluar dari maksud teks agama, ini melahirkan sikap liberal atau bahkan ultra liberal.
Dua kutub pandangan yang berjalan sendiri-sendiri itu butuh titik temu bernama moderasi. Sikap moderasi bergerak dinamis sesuai perkembangan zaman dan dinamika keadaan karena hukum itu sendiri berputar sesuai illatnya. Perputaran itu tidak apa-apa apabila pangkal putarnya pada poros maqashidus syariah. Sehingga sedinamis apapun budaya dan zaman bergerak berputar, sikap moderasi tidak boleh berputar di poros lain selain maqashid dan teks agama itu sendiri.
Disinilah pencari moderasi beragama memerlukan kekayaan wawasan dan literasi, kitab bacaanpun harus diperoleh dari sumber yang bersanad moderat pada diri rosulillah SAW.
Ukuran utama sikap moderasi itu adalah kemanusiaan. Karena puncak pencarian agama adalah nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Tak bisa kita bilang membela agama kalau menodai nilai dan martabat kemanusiaan. Tak bisa kita bilang ingin menyenangkan Tuhan kalau menyakiti manusia ciptaan Tuhan.
Termasuk bagian dari penghargaan pada nilai-nilai kemanusia itu adalah penghargaan pada negara dan bangsa tempat kita berlindung mengartikulasikan keagamaan kita. Hanya pada bangsa yang utuh, tidak konflik, ekspresi keagamaan bisa dijalankan, diaktualisasikan.
Janganlah kita melakukan tindakan provokasi, hoax dan ujaran kebencian mengatasnamakan agama, sejatinya itu merusak bangsa. Bahaya sekali tindakan menguatkan agama tapi melemahkan negara. Mengaku membela agama tapi merendahkan sistem dan simbol-simbol negara.
Penjagaan relasi hubungan agama dan negara sesungguhnya telah lama ditancapkan dalam UUD 1945. Pasal 29 UUD 1945 cukup menjadi ruang gerak yang merdeka bagi semua pemilik agama, yaitu kebebasan beragama dan beribadah sesuai dengan agama dan keyakinannya masing-masing. Indonesia bukan agama sekuler, bukan negara agama tapi negara yang memberi tempat yang nyaman bagi semua pemeluk agama untuk beribadah dan bermuamalah.
Negara tidak memaksakan keyakinan tertentu pada warganya malah negara memberi pedoman dan rambu-rambu serta memfasilitasi aktifitas keagamaan. Pengaturan haji, zakat, kawin cerai, waktu berpuasa dan berhari raya bagi semua agama adalah cerminan kebebasan yang diberikan negara. Serta negara mencegah setiap tindakan yang nerugikan keyakinan warga beragama seperti pengrusakan rumah ibadah kaum minoritas. Semua diperlakukan sama di depan hukum.
Orang ekstrem radikal cenderung melihat agama dari perspektif formal individual. Ia melihat agama terpisah antara yang satu dengan agama lain, Islam, Hindu, Budha, Kristen, Konghucu. Sehingga yang berbeda dari agamanya dimusuhi dan dipinggirkan, tak heran marak persekusi kaum mayoritas atas minirotas.
Sedang yang ekstrem liberal memandang agama adalah formal prosedural. Ia memandang agama hanya soal tehnis prosedural saja, apapun agamanya dianggap sama sehingga memandang remeh persoalan agama, agama diibaratkan seperti baju yang bisa gonta ganti tanpa merisaukan kometmen ritualitasnya.
Sementara kalangan moderat memandang agama lebih esensial substansial, cenderung tak memperdebatkan formal kulit luar agama di ruang publik, tapi melihat isi dalam nilai-nilai kemanusiaannya yang memiliki pokok-pokok ajaran yang sama, sekalipun ritualnya beda. Yaitu sama-sama mengajarkan keadilan, kemanusiaan, kesejahteraan, kesaamaaan hak dan kewajiban didepan hukum dll.
Sikap yang ketiga ini bukan berarti menganggap agama sama benarnya, melainkan sama isi pokok nilai ajaran kemanusiaannya secara muamalah kebangsaan.
Bukan pula diartikan ia kehilangan identitas agamanya, tapi agama bagi kelompok ketiga ini tetap menjadi kebanggaan dan keyakinan yang tidak akan pernah ditukar dengan apapun. Kometmen keagamaannya diwujudkan dalam bentuk laku tindakan kebaikan, bukan ritualitas formal individual saja, bukan pula malah menghina agama lain di ruang publik yang bisa menyebabkan mereka membalas tuhan Allah tanpa ilmu.
Pandangan moderasi beragama ini akan menjadi tolok ukur tidak hanya bagi diri dan keluarganya tapi juga bagi bangsanya. Hadratus Syekh KH. Muhammad Hasyim Asyari yang moderat mampu memadukan agama dengan nasionalisme sehingga merestui konsep negara Pancasila.
Jika kamu ingin melihat manusia moderat, lihat bagaimana ia menyintai negaranya.
*) Penulis adalah Wakil Ketua PCNU Sumenep, Pegiat KIM, Dosen Stidar dan Pegawai Kantor Kecamatan Pragaan.