Oleh : Zubairi El-Karim *)
Pandemi belum usai. Negara dan rakyat bergandeng tangan ingin segera keluar dari krisis yang mematikan ini. Ditengah lonjakan pandemi Covid-19 yang makin menggila, kita disuguhkan pemandangan politisi memasang billboard dan baliho untuk mengisi panggung politik 2024.
Pesannya macam macam, ada yang promosi secara terang-terangan atau hard selling ke target pasar ada yang promosi secara malu-malu melalui tulisan jargon. Politik baliho ditengah pandemi menurut banyak lembaga survei kredibel ternyata tidak sepenuhnya mampu mengerek elektabilitas tokoh yang dipromosikan, juga tidak banyak memengaruhi penerimaan publik pada calon yang sedang dipanggungkan.
Lembaga survei terkemuka Charta Politika misalnya merilis data elektabilitas Capres 2024 pasca baliho disebar di seluruh negeri ternyata tetap menempatkan rangking calon pada tokoh yang tidak menggunakan baliho, yaitu Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto dan Anis Baswedan.
Makin lama ternyata masyarakat makin kritis melihat kerja-kerja para politikus. Warga seolah ingin mengatakan bahwa calon presiden nanti adalah anak-anak muda yang cerdas, mampu dan kritis serta siap diuji kinerjanya pada kerja yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Warga mencari politisi yang mau berempati dengan air mata masyarakat bukan yang sibuk mempromosikan diri.
Masyarakat malah lebih respon dengan periklanan yang mengajak optimisme dalam melawan krisis kesehatan dan ekonomi, seperti mengajak mematuhi protokol kesehatan, menjaga iman dan imun.
Politik baliho itu politik dengan paradigma lama. Dengan tampil di baliho diduga menjadi cara jitu untuk mendongkrak popularitas dan menarik simpati publik. Mereka beranggapan masih banyak segmen pemilih yang belum menggunakan internet, yang tidak terlalu aware dengan tokoh politik yang punya kerja nyata, sehingga pengenalan konvensional masih tetap perlu dilakukan.
Sementara politisi yang lebih cerdas justru membaca sebaliknya, sudah tidak zaman politik pakai baliho. Politik hari ini sudah lebih nyambung menggunakan media sosial karena konon pengguna internet sudah mencapai 73,7 % dari populasi penduduk.
Biaya pemasangan baliho tentu tidak murah, butuh dana milyaran rupiah. Pemasangan baliho ditengah pandemi dianggap tidak memiliki sensitifitas dengan keadaan krisis kesehatan yang dialami warga. Sisi lain anak muda hari ini lebih suka calon pemimpin yang hadir ditengah-tengah masyarakat, hadir saat kerja bakti berbaur dengan warga, apalagi massif bisa dilakukan di semua daerah dan perkampungan. Calon pemimpin itu diharapkan hadir membiayai konsumsi makan saat gotong royong di pelosok desa, menambal kekurangan biaya alat pelindung diri (APD) kesehatan, membantu warga yang sedang isolasi mandiri, mau antar jemput warga berobat ke pusat-pusat kesehatan, membantu ekonomi keluarga terdampak, dan kerja-kerja nyata lainnya.
Politik itu investasi jangka panjang, bukan kerja dadakan. Kampanye baliho dan billbord yang merupakan manuver sebulan tak akan mampu mengangkat popularitas calon. Buktinya elektabilitas calon yang diusung tidak naik-naik, bahkan cenderung hanya menjadi bahan bullyan media sosial.
Dalam kondisi normal memang bisa saja popularitas dicapai dengan pengenalan baliho, tapi saat situasi tak normal, baliho yang besar biayanya, dinilai tidak memiliki dampak langsung pada krisis kesehatan mereka. Justru menjadi zero defect produk cacat atau boomerang efect kondisi yang berlawanan. Bisa berpotensi menimbulkan persepsi negatif, bukan dicintai justru sebaliknya, semakin tidak disukai karena dianggap tidak peka dengan kondisi krisis, dianggap suara rakyat tidak didengar.
Popularitas mungkin saja naik tapi tidak berkorelasi positif dengan tingkat elektabilitas yang akan dipilih masyarakat nantinya.
Berbeda dengan kebijakan atau tindakan yang memiliki dampak langsung pada rakyat, memberi sembako, bantuan sosial, bentuk pendampingan, akan dengan mudah meraup simpati warga.
Tak hanya itu, berkaitan baliho beberapa riset daerah mengungkapkan bahwa pemasangan poster yang ditempel di rumah, di tiang listri dan tempat umum itu akan meninggalkan efek menyebalkan di masyarakat, karena akan meninggalkan efek kotor dimana-mana. Masyarakat sesungguhnya sebal dalam hatinya dengan aneka stiker, hanya tak mampu mengatakan karena segan pada orang yang memasang atau tokoh partai yang nampang.
Pemilih pada 2024 didominasi anak muda yang dekat dengan media. Anak muda lebih menyukai sesuatu yang lebih dinamis. Sosmed lebih disukai karena dunia millenial. Jangan sampai mereka menyindir bahwa pengenalan di medsos tidak boleh, sementara kerja nyata di formalitas baliho malah boleh. Partai boleh saja berdalih baliho hanya untuk konsolidasi kepartaian bukan untuk nyapres di 2024, tapi semua akan faham dengan maksud komunikasi politik walau dibungkus dengan cara apapun.
Namun demikian jika baliho dipaksakan sebagai pajangan politik, bisa juga ada manfaatnya yaitu membantu kelompok pebisnis baliho, juga setelah usai bekas baliho bisa digunakan untuk tabir warung kopi dan pedagang kaki lima.
Pemilu 2024 mendatang akan dilakukan serentak Pilpres dan pemilihan legislatif, maka kesalahan memilih capres akan memengaruhi terhadap suara partai politik. Apakah the ruling party yang sedang berkuasa tetap akan bertahan walau tanpa menggunakan mata dan telinga dengan cermat, atau malah partai oposisi yang akan mengambil posisi. Kita taidak tahu apa yang akan terjadi.
Pemasangan baliho politik kedepannya harusnya dikalkulasi dengan matang, meski pembiayaanya tidak menggunakan uang publik, pemasangnnya tidak liar tetap menggunakan izin berbayar, tapi ruang yang digunakan adalah ruang visual publik, dimana setiap pesan memiliki dampak psikologis masyarakat yang melihatnya.
Makin pekalah membaca keadaan. Akhlaq politik itu jauh lebih penting dari nafsu politik untuk kesejahteraan dan keadilan.
*). Penulis adalah pegiat NU dan KIM serta Dosen Stidar Sumenep.