KIMPRAGAAN.COM, PRAGAAN – Ada ulama yang mengartikan puasa sebagai momen ketika seorang hamba lenyap dari makhluk lantaran fokus menatap Allah. Arti ini dirujukkan pada ayat al-Qur’an yang berkisah tentang Siti Maryam, “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini.”
Ayat di atas ditafsirkan, “Karena aku telah lenyap dari makhluk lantaran fokus menatap Allah maka aku jadikan puasaku sebagai taming sehingga tak ada sesuatupun yang mengganggu dan memutus konsentrasiku kepada Allah.” Penafsiran ini sejalan dengan apa yang disabdakan Rasulullah bahwa puasa adalah taming. Yakni, hijab dari apapun selain Allah.
Inilah energi spiritual puasa yang dahsyat dan luar biasa. Puasa yang mampu menjalinkan hati semata dengan Allah, bukan dengan yang lain. Puasa pada level ini sudah tidak berkait sama sekali dengan hal-hal yang bersifat ritual dan kulit luar. Puasa tak ada lagi hubungannya dengan menahan haus, lapar, dan nafsu seksual. Sebab tiga hal ini berbau makhluk. Dan, puasa level ini sudah terputus sama sekali dengan apapun yang berbau makhluk.
Dengan kata lain, puasa level ini adalah puasa hati. Yakni, suatu upaya hati untuk menolak bersentuhan dengan makhluk; apapun bentuknya. Sebab, hati hanya dikuasai oleh kemenyatuan dengan Sang Khalik. Mata hati tak berkedip menikmati ke-Mahaindah-an Allah. Hati berada dalam kondisi ekstase ilahiah yang terbebas dari lintasan-lintasan duniawi.
Puasa level inilah—barangkali—yang disebutkan Allah dalam sebuah hadits kudsi, “Puasa itu milik-Ku, Aku sendiri yang akan membalas (pahala)-nya.” Bahkan, ada yang mengartikan, “Puasa itu milik-Ku, Aku sendiri balasannya.”
Wallahu a’lam
Jaddung, 09 Ramadan 1445/20 Maret 2024
Penulis : Asy’ari Khatib
Pengajar di PP Annuqayah