KIMPRAGAAN.COM, SENTOL DAYA – Perkumpulan Ikatan Alumni Annuqayah (IAA) bulanan biasa mendawamkan membaca dzikir Ratibul Haddad. Ratib ini disusun oleh salah seorang ulama terkemuka dari Hadramaut, yakni Abdullah bin ‘Alawi bin Muhammad al-Haddad. Beliau merupakan salah seorang seorang mujaddid (pembaharu) di masanya.
Begitupun juga kemarin, Ahad sore (03/03/2024) puluhan pengurus dan warga IAA membaca Ratibul Haddad di Pondok Pesantren Misbahul Munir lokasi perkumpulan IAA yang digilir setiap bulan.
Wakil Ketua IAA (Ikatan Alumni Annuqayah) Pragaan KH. Asy’ari Khatib mengatakan bahwa pembacaan Ratibul Haddad didawamkan karena sudah mendapat ijazah dari pengasuh Annuqayah.
“Sebelumnya, kita tak berani mengamalkan Ratibul Haddad secara terbuka kalau belum di ijasah langsung oleh pengasuh, karena takut tak nyambung dengan para masyayikh,” ucapnya menjelaskan pentingnya ketersambungan rohani santri dengan gurunya di Annuqayah.
Ketersambungan rohani dengan guru, katanya, bahkan bisa menembus pakem nahwu dalam gramatika bahasa arab.
“Seperti bacaan Ratibull Haddad “batinan wadhahir” bukan dibaca “wadhahira” secara qaidah nahwu mungkin dirasa kurang benar, tapi tetap diikuti bulat-bulat bacaan itu, karena itu yang diijazahkan oleh guru kita,” sambungnya lagi.
Tak hanya Ratibul Haddad, katanya, termasuk yang penting dijaga oleh kita para santri, adalah bacaan “a’malul yaumiyah” yang sudah direstui bacaannya oleh para masyayikh Annuqayah termasuk oleh allahummaghfirlahu guru kita KH. A. Warits Ilyas.
“Ini salah satu cara kita agar tidak putus dan terus nyambung rohani dengan para masyayikh Annuqayah,” tambahnya.
Guru favorit bahasa Indonesia Annuqayah dari zaman ke zaman ini juga menyinggung shalat nisfu sya’ban yang tidak pernah dilihat dikerjakan oleh gurunya KH. Ahmad Basyir Abdullah Sajjad.
“Karena saya tak pernah melihat pengasuh Kiyai Basyir melakukan shalat nisfu Syakban, maka kita para santri tak melakukannya,” ucapnya.
Mungkin Kiyai Basyir, lanjutnya, melakukan shalat di dalem, hanya kita tidak tahu. Tapi karena yang kita lihat tidak mentradisikan itu, sekalipun di pesantren lain melakukannya, kita tidak lakukan itu karena semata ingin menyambung rohani dengan beliau.
Ciri santri, tambahnya, tak ada dalam hadis pun, kalau dikerjakan guru maka tetap kita dilakukan, untuk mendapatkan sambungan dari para masyayikh gurunya.***
Penulis : Zuber
Editor : Bdr