Wakil Ketua MWC NU Pragaan dalam menyampaikan Kajian Kesantrian (Dok.KIM-KMAP) |
KIMKARYAMAKMUR.COM, Prenduan – Berkembangnya faham radikal dan liberal di Indonesia melalui media sosial (medsos) yang kerap menggeser fikroh para santri dibahas utuh oleh Tim Kajian Kesantrian Majlis Wakil Cabang Nahdatul Ulama (MWC NU) Pragaan di LPI Mambaul Ihsan Prenduan Pragaan Sumenep Selasa Sore (27/10/2020).
Di depan para santri Mambaul Ihsan dan Banom NU diantaranya GP Ansor, IPNU IPPNU Pragaan, Wakil Ketua MWC NU Pragaan Ust. Ahmad Zubairi Karim mengatakan bahwa NU hadir menyeimbangkan hubungan agama dan negara. Karena keduanya laksana saudara kembar yang tidak bisa dipisahkan.
“Jika agamanya saja yang dinaikkan, sementara negaranya dilemahkan maka akan terjadi konflik seperti di timur tengah. Agama dan negara harus seimbang”, ujar Ust Zubairi disambut tepuk tangan peserta yang hadir.
Menurutnya islam itu satu, tapi tipe orang islam banyak macamnya, banyak warnanya.
“Jika kita memahami islam ekstream maka kita jadi radikal. Jika terlalu longgar maka kita menjelma jadi liberal. Islam NU adalah islam yang moderat berada diantara kutub radikal dan liberal”, ujar Wakil Ketua yang kini ditarik penjadi pengurus Cabang NU Sumenep ini dengan penuh semangat.
Santri NU menurutnya harus punya kecintaan yang tinggi pada negaranya, pada bangsanya. Hari santri yang diperingati setiap bulan Oktober adalah momentum perjuangan santri melawan penjajah.
Di bulan inilah Resolusi Jihad Hadratus Syekh KH. Hasyim Asyari dikumandangkan. Dulu, 75 tahun lalu seruan perang ini dikabarkan dari mushalla ke mushalla, dari masjid ke masjid, pesantren ke pesantren terutama di Jawa dan Madura. Bahwa membela tanah air itu adalah jihad fi sabilillah. Hukumnya dulu fardu ain, kewajiban bagi setiap warga negara yang berada pada kisaran jarak 94 km dari jarak benteng pertahanan musuh.
“Kata Hadratus Syekh KH Hasyim Asyari, siapa yang mati karena membela tanah airnya maka ia mati syahid. Sebaliknya, yang menghianati negara maka halal darahnya”, kata beliau menyitir pandangan pendiri NU KH Hasyim Asyari.
Ia juga mendorong santri NU agar membangun muamalah kebangsaan antar warga negara dengan cinta damai apapun agama, etnis, suku dan golongan apapun.
“Dalam muamalah kebangsaan non muslim adalah saudara sebangsa. Ia yang bukan saudaramu seagama, ia adalah saudaramu sebangsa”, tuturnya panjang lebar.
Sekalipun secara aqidah ia memang kafir, sambungnya, tapi kata NU jangan menyebutnya identitas kekafirannya. Sebut saja non muslim semata agar tidak melukai perasaanya.
“Jika perasaan agamanya luka, maka ditempat dimana ia mayoritas ia bisa membalas dengan aksi kekerasan pada minoritas muslim. Terjadilah konflik agama yang bisa meluas menjadi tragedi kemanusiaan. Itulah yang dijaga NU”, pungkasnya memberi penjelasan arti toleransi antar umat beragama. (Zbr/Bdr).